PERTANYAAN :
1. A :
Ketika imam selesai membaca al fatihah dan makmum berada di tengah-tengah
bacaan al fatihah, apakah makmum tersebut mengucapkan amiin terlebih dahulu
kemudian melanjutkan bacaan surat al fatihahnya? Apakah melanjutkannya tanpa
amin? Dan Apakah sama sekali tidak dibacakan?
2. B :
Kenapa dalam shalat jahriyah bacaan al fatihah dibaca keras dan dalam shalat
sirriyah tidak dibaca keras?
3. C :
Apa hukum bacaan ta’awudz bagi imam dan makmum ketika hendak membaca al fatihah
dan membaca surat lainnya?
4. D : Kenapa
Imam Syafi’i dan Imam Malik mewajibkan bacaan al fatihah baik dalam shalat
Jahriyah maupun Sirriyah secara Mutlaq?
JAWABAN
1. Perlu diketahui bahwa hukum membaca aamiin setelah selesai membaca Al Fatihah
dalam shalat adalah sunnah (dianjurkan), baik bagi imam maupun makmum. Bacaan
tersebut diucapkan secara jahr (keras) dalam shalat jahr (shalat
Shubuh, Maghrib, dan Isya) dan dibaca sirr (lirih) dalam shalat sirr (shalat Zhuhur dan Ashar). Disunnahkan
pula membaca aamiin setelah Al Fatihah jika dibaca di luar shalat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Disunnahkan bagi yang
membaca surat Al Fatihah untuk mengucapakan aamiin setelah membacanya. Ulama Syafi’iyah
dan ulama lainnya menyatakan bahwa dianjurkan mengucapkan aamiin bagi orang
yang membaca Al Fatihah di luar shalat, terlebih lagi jika di dalam shalat,
baik ia shalat sendiri (munfarid), sebagai imam, maupun sebagai makmum, begitu
pula di keadaan lainnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1: 144-145)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Mengucapkan “amien” (ta’mîn)
adalah perhiasan shalat seperti mengangkat kedua tangan yang merupakan
perhiasan shalat. Juga termasuk mengikuti sunnah dan mengagungkan perintah
Allah.
Ta’mîn juga memiliki keutamaan yang banyak, diantaranya :
a. Menjadi sebab terampuninya dosa apabila ucapan amin itu
bersamaan dengan aminnya para malaikat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إذَا
أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ
الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena
siapa yang ucapan âmînnya bersamaan dengan ucapan âmîn para malaikat maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhâri
no. 111 dan Muslim 4/128)
b. Menjadi penebab terkabulnya do’a, seperti yang dijelaskan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam :
إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا
صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا
قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ.
يُجِبْكُمُ اللَّهُ
“Apabila kalian shalat maka luruskanlah shaf (barisan) kalian
kemudian hendaknya salah seorang diantara kalian menjadi imam. Apabila imam
bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan “GHAIRIL MAGHDHÛB
BI’ALAIHIM WALAADH-DHÂLÎN” maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya”. (HR Muslim no. 4/119)
c. Yahudi iri dengan adanya ta’mîn pada kaum Muslimin. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ
الْيَهُوْدَ قَوْمٌ حَسَدٌ وَ إِنَّهُمْ لاَ يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا
يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى السَّلاَمِ وَ عَلَى (آمِيْنَ )
“Sesungguhnya yahudi adalah kaum yang penuh hasad dan mereka tidak
hasad kepada kami tentang sesuatu yang melebihi hasadnya mereka kepada kita
dalam salam dan ucapan âmîn.” (HR Ibnu
Khuzaimah dalam shahihnya 1/73/2dan dinilai shahih oleh syaikh al-Albâni
rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah 2/31).
Kemudian, perlu kita ketahui juga bahwa dalam hal membaca surat
al-Fatihah di belakang imam bagi makmum terdapat perbedaan pendapat, dalam hal
ini Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa
makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah baik dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya
dan Shubuh) maupun sirriyah (Zhuhur dan Ashar) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ
فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam,
bacaan imam menjadi bacaan untuknya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah no.
850. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Namun ada perkataan tegas dari ulama Malikiyah
dan Hanabilah bahwa makmum disunnahkan membaca Al-Fatihah untuk shalat sirriyah.
Adapun dalam madzhab Hanafiyah, makmum tidak membaca sama sekali
di belakang imam dalam shalat sirriyah, bahkan dinyatakan makruh tahrim jika
tetap membaca di belakang imam. Namun jika tetap dibaca, menurut pendapat
terkuat, shalatnya tetap sah. Di antara alasannya adalah ayat,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)
Sedangkan ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa wajib membaca
Al-Fatihah bagi makmum baik dalam shalat sirriyah (Zhuhur dan Ashar), begitu
pula dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya, dan Shubuh). Alasannya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca
Al-Fatihah.” (HR. Bukhari, no. 756 dan Muslim, no. 394)
Ada pernyataan dari Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa dimakruhkan
bagi makmum membaca di saat imam menjaherkan (mengeraskan) bacaan. Namun ulama
Syafi’iyah mengecualikan jika dikhawatirkan luput dari sebagian Al-Fatihah.
Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa siapa yang mengetahui bahwa imam
tidak membaca surat setelah Al-Fatihah atau suratnya begitu pendek, maka ia
membaca Al-Fatihah berbarengan dengan imam. Walaupun berbarengan tetapi ada
jeda atau saktah sedikit, misalnya setelah imam selesai membaca ayat pertama
baru kemudian makmum. Hal ini senada dengan perkataan Imam An Nawawi rahimahullah dalam menjelaskan sebuah hadits yaitu kewajiban
bagi makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk rukuk, sujud. Dan
itu dilakukan oleh makmum setelah imam melakukannya. Maka makmum ber-takbiratul
ihram setelah imam selesai takbiratul ihram. Jika itu dilakukan sebelum imam
selesai maka tidak benar shalatnya.
Namun disunnahkan makmum membaca Al-Fatihah tadi di antara diamnya
imam sejenak setelah membaca Al-Fatihah (disebut: saktaat) atau Al-Fatihah dibaca
ketika ia tidak mendengar imam karena ia jauh atau tuli.
Ulama Hambali menyatakan bahwa makmum membaca Al-Fatihah tersebut
saat diamnya imam setelah membaca Al-Fatihah (saktaat).
Jadi kaitan dalam pertanyaan di atas, dalam hal ini berpegang
dengan Madzhab Syafi’iyah yang membolehkan makmum membaca surat al-Fatihah
berbarengan dengan imam jika ada sebab-sebab tersebut di atas, namun kasusnya
imam lebih dulu selesai membacanya, maka makmum hendaknya membaca aamiin
besamaan dengan imam, karena dijelaskan di atas dosa kita akan terhapuskan jika
bacaan aamiin kita bisa bersamaan dengan aamiinnya para malaikat juga, kemudian
dilanjutkan membaca surat al-Fatihah, karena itu merupakan rukun dalam shalat
jika tidak dibaca maka akan cacat shalatnya dan tidak bisa digantikan kecuali
dengan menambahkan rakaat lain.
2.
Perlu kita ketahui bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara para imam
madzhab mengenai shalat fardhu yang jahriyah dan yang siriyah. Shalat-shalat
yang dikeraskan bacaannya (jahriyah) pada shalat fardhu yaitu shalat subuh,
maghrib dan isya. Sedangkan shalat yang dipelankan bacaannya pada shalat
fardhu adalah shalat dzuhur dan ashar termasuk shalat jum’at, kemudian yang
dimaksud dengan bacaan di sini bukan semua bacaan dalam shalat melainkan adalah
bacaan Al-Fatihah dan surat Al-Qur’an sesudah Al-Fatihah dan yang maksud
dikeraskan bacaan atau dipelankan yang dibahas di sini adalah pada dua rakaat
pertama, sedangkan untuk rakaat berikutnya (jika shalatnya lebih dari 2 rakaat)
tidak masuk dalam pembahasan karena selalu dipelankan. Dikeraskan bacaan atau
dipelankan di sini adalah untuk imam ketika memimpin shalat berjamaah.
Sedangkan untuk shalat munfarid (sendiri) maka boleh dikeraskan atau
dipelankan. Namun walaupun shalat sendirian disunnahkan untuk tetap mengeraskan
bacaan pada shalat jahriyah dan memelankan pada shalat siriyah.
Alasan kenapa terdapat shalat fardhu jahriyah dan siriyah karena
sesuai dengan banyak hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut, hadits itu
diantaranya :
a.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ
عُمَيْرٍ عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ قَالَ قُلْتُ لِخَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ أَكَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
قَالَ نَعَمْ قَالَ قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ قِرَاءَتَهُ قَالَ
بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf berkata, telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari ‘Umarah dari Abu Ma’mar
berkata, “Aku bertanya kepada Khabbab bin Al Arat, ‘Apakah Rasulullah s.a.w.
membaca surah dalam shalat Zhuhur dan ‘Ashar? ‘ Dia menjawab, “Ya.” Kami
tanyakan lagi, “Bagaimana kalian bisa mengetahui bacaan Beliau?” Dia menjawab,
“Dari gerakan jenggot Beliau.” (H.R. Bukhari No. 719)
Pada hadits di atas dapat kita lihat bahwa dalam shalat dzuhur
dan ashar, Rasululullah s.a.w. tidak mengeraskan bacaannya terbukti bahwa
sahabat mengetahui beliau membaca sesuatu atau tidak dari gerakan jenggot dan
bukan dari suara beliau. Ini menunjukkan shalat dzuhur dan ashar adalah
sirriyah.
b.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
وَهِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ
أُمِّهِ قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ هِيَ لُبَابَةُ أَنَّهَا سَمِعَتْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِ
وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan
Hisyam bin Ammar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin
Uyainah dari Az Zuhri dari Ubaidullah bin Abdullah dari Ibnu Abbas dari Ibunya
-Abu Bakr bin Abu Syaibah mengatakan bahwa ia adalah Lubabah- bahwasanya ia pernah mendengar
Rasulullah s.a.w. dalam shalat maghrib membaca WAL MURSALAATI ‘URFA. ”
(H.R. Ibnu Majah No. 823) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca
Rasulullah s.a.w pada saat shalat marghrib menunjukkan bahwa shalat maghrib itu
dikeraskan bacannya (jahriyah).
c.
حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى قَالَ
حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ سَمِعَ الْبَرَاءَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقْرَأُ وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ فِي الْعِشَاءِ وَمَا سَمِعْتُ
أَحَدًا أَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ أَوْ قِرَاءَةً
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Khallad bin Yahya berkata, telah
menceritakan kepada kami Mis’ar berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Adi
bin Tsabit bahwa dia mendengan Al Bara berkata, “Aku mendengar Nabi s.a.w.
membaca ‘WAT TIINI WAZ ZAITUUN’ pada shalat ‘Isya. Dan belum pernah aku
mendengar seseorang yang suaranya atau bacaan lebih baik dari beliau.”
(H.R. Bukhari No. 727)
Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca
Rasulullah s.a.w pada saat shalat isya menunjukkan bahwa shalat isya itu
dikeraskan bacannya (jahriyah).
d.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا شَرِيكٌ وَسُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ عَنْ
قُطْبَةَ بْنِ مَالِكٍ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَهَا طَلْعٌ نَضِيدٌ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata,
telah menceritakan kepada kami Syarik dan Sufyan bin Uyainah dari Ziyad bin
Ilaqah dari Qutaibah bin Malik ia
mendengar Nabi s.a.w. dalam shalat subuh membaca; ” (dan pohon kurma yang
tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun). ” (H.R. Ibnu Majah No. 808)
e.
أَخْبَرَنَاأَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِسَرِيعٍ عَنْ عَمْرِو بْنِحُرَيْثٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِيصَلَاةِ الصُّبْحِإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ فَلَمَّا انْتَهَى إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ{ وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ } جَعَلْتُأَقُولُ فِي نَفْسِي مَااللَّيْلُ إِذَا عَسْعَسَأَخْبَرَنَاأَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ الْوَلِيدِ عَنْعَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ بِنَحْوِهِ
Artinya :
Telah mengabarkan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada
kami Al Mas’udi dari Al Walid bin Sari’ dari ‘Amru bin Huraits, bahwa ia mendengar Rasulullah
s.a.w. pada shalat Subuh membaca: IDZASY SYAMSU KUWWIRAT kemudian setelah
sampai pada ayat WALLAILI IDZAA ‘AS’AS (demi malam
apabila telah hampir meninggalkan gelapnya) (Qs. At Takwir: 17), maka saya
berkata dalam hati, 'Apakah malam yang apabila telah hampir meninggalkan
gelapnya itu?." Telah mengabarkan kepada kami Abu Nu'aim telah
menceritakan kepada kami Mis'ar dari Al Walid dari 'Amru bin Huraits seperti
hadits tersebut." (H.R. Darimi No. 1266)
Pada hadits di atas, sahabat mengetahui surat yang dibaca
Rasulullah s.a.w pada saat shalat subuh menunjukkan bahwa shalat subuh itu
dikeraskan bacannya (jahriyah).
3. Para ulama sepakat bahwa membaca ta’awudz pada rakaat pertama
disyariatkan, kemudian mereka berbeda pendapat apakah disyariatkan juga pada
rakaat-rakaat sholat berikutnya?. Dalam kitab al-Mashuu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah pada
point 23 disebutkan :
الاستعاذة مشروعةٌ
في الرّكعة الأولى باتّفاقٍ
Ta’awudz disyariatkan pada rakaat pertama berdasarkan
kesepakatan ulama.
Kemudian pensyariatan ini apakah hukumnya wajib
atau sunnah? Maka mayoritas ulama menghukuminya sunnah, sedangkan madzhab
dhohiri menghukuminya wajib dan yang rajih adalah pendapatnya jumhur ulama
yaitu sunah.
Para ulama menjadi dua madzhab dalam menghukumi
membaca ta’awudz pada setiap rakaat. Madzhab pertama mengatakan bahwa ta’awudz
disyariatkan pada rakaat pertama saja, sedangkan rakaat-rakaat berikutnya tidak
disyariatkan. Ini adalah pendapatnya Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Dalil mereka adalah :
a. Hadits Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Imam
Muslim bahwa beliau rodhiyallahu anhu berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ
بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Rasulullah
sholallahu alaihi wa salam jika bangkit dari Rakaat kedua memulai bacaan dengan
Alhamdulillah dan Beliau sholallahu alaihi wa salam tidak diam.”
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shoolih al-Munajid dalam fatwanya menukil dari
Imam Ibnu Qudamah yang mengambil istimbat hukum dari hadits ini, kata beliau :
وهذا يدل على أنه لم يكن يستفتح ولا يستعيذ …
Ini
menunjukkan bahwa Beliau tidak membaca doa istiftah dan juga Isti’adzah…
Jadi
maksud Imam Ibnu Qudamah dan yang sepakat dengannya bahwa dari hadits ini
ketika Rasulullah sholallahu alaihi wa salam memulai rakaat kedua dan begitu
seterusnya, Beliau sholallahu alaihi wa salam memulainya dengan Hamdalah, bahkan
disebutkan bahwa Nabi sholallahu alaihi wa salam tidak diam terlebih dahulu,
sehingga memberi isyarat beliau tidak memulai membaca apapun sebelum bacaan Al
Fatihahnya.
b.
Bahwa
bacaan sholat adalah satu paket yang tidak terpisahkan, sehingga ketika diawal
rakaat pertama sudah membaca ta’awudz hal tersebut sudah mencukupi untuk
seluruh bacaan Al Qur’an. Imam Ibnu Utsaimin dalam fatawanya pernah
menjawab pertanyaan sebagai berikut :
واختلف العلماء – رحمهم الله – هل يستعيد
في كل ركعة، أم في الركعة الأولى فقط بناء على القراءة في الصلاة هل هي قراءة
واحدة أم لكل ركعة قراءة منفردة؟
والجواب: الذي يظهر لي: أن قراءة الصلاة
واحدة، فتكون الاستعاذة في أول ركعة
Para
ulama berselisih pendapat apakah ta’awudz setiap rokaat atau hanya rakaat
pertama saja, berdasarkan pandangan bahwa dalam sholat bacaaan Al Qur’an itu
satu kesatuan atau setiap sholat bacaan Al Qur’annya merupakan sesuatu yang
sendiri-sendiri.
Jawabannya,
yang nampak bagiku bahwa bacaan sholat itu satu kesatuan, oleh karenanya
istia’aadzah hanya pada rokaat pertama.
c.
Tidak
dinukil secara jelas dan tegas dari Nabi sholallahu alaihi wa salam bahwa
Beliau membaca ta’awudz kecuali pada rakaat pertama saja, seandainya membaca
ta’awudz dianjurkan tentu akan dinukil dari Beliau sholallahu alaihi wa salam
sifat sholatnya yang membaca ta’awudz pada setiap rokaat. Asy-Syaikh Khoolid
Abdul Mun’im dalam fatwannya mengatakan sebagai berikut :
وقد صحَّ عن النَّبيِّ صلَّى الله عليه
وسلَّم في حديث أبي سعيد الخدْري: أنَّه صلَّى الله عليه وسلَّم كان إذا قام إلى الصَّلاة
استفتح، ثم يقول: “أعوذ بالله السَّميع العليم من الشَّيطان الرَّجيم، من همْزِه
ونفْخِه ونفثه” (رواه أبو داود والترمذي)، ولَم ينقَل عنه أنَّه كرَّر الاستعاذة،
ولو فعل لنُقل؛ لتوافر الهمم على نقل مثل ذلك
Telah
sahih dari Nabi sholallahu alaihi wa salam dalam hadits Abi Sa’id al-Khudriy
Rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi sholallahu alaihi wa salam jika berdiri
sholat, Beliau memulai dengan mengucapkan Audzubillahi as-Samii’il ‘Aliim
minasy Syaithoonir Rojiim min Hamzihi wa Nafkhihi wa Naftsihi (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi, (dishahihkan oleh Imam Al Albani-pent.).
Namun
tidak dinukil dari Nabi sholallahu alaihi wa salam bahwa Beliau mengulangi
ta’awudz, seandainya Beliau sholallahu alaihi wa salam melakukannya tentu akan
dinukil, karena banyaknya penukilan seperti hadits ini.
d. Terdapat hadits larangan untuk berbicara didalam
sholat, yaitu hadits Mu’awiyyah ibnul Hakaam rodhiyallahu anhu tentang kisah
beliau menjawab bersin, kemudian pada akhir kisah Nabi sholallahu alaihi wa
salam bersabda kepadanya :
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ
فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ
Sesungguhnya
sholat itu tidak pantas ada ucapan manusia didalamnya (diluar bacaan sholat)
(HR. Muslim).
Sisi
pendalilannya adalah memang benar terdapat ayat dalam Al Qur’an yang
memerintahkan untuk membaca ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an, namun dengan
tidak adanya dalil khusus yang mengatakan adanya bacaan ta’awudz pada rokaat
kedua dan seterusnya, maka ini dianggap sesuatu diluar sholat yang tidak boleh
dimasukkan kedalam sholat, sebagaimana jawaban yarhamukallah disyariatkan
diluar sholat, namun ketika hal itu dibaca oleh Mu’awiyyah didalam sholat, maka
para sahabat langsung menegurnya. Imam Syaukani dalam Nailul Author
(2/213) berkata :
وقد ذهب الحسن وعطاء وإبراهيم إلى استحبابه في كل ركعة واستدلوا بعموم قوله
تعالى { فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله } ولا شك أن الآية تدل على مشروعية
الاستعاذة قبل قراءة القرآن وهي أعم من أن يكون القارئ خارج الصلاة أو داخلها .
وأحاديث النهي عن الكلام في الصلاة يدل على المنع منه حال الصلاة من غير فرق بين
الاستعاذة وغيرها مما لم يرد به دليل يخصه ولا وقع الإذن بجنسه فالأحوط الاقتصار
على ما وردت به السنة وهو الاستعاذة قبل قراءة الركعة الأولى فقط
Al-Hasan,
‘Athoo’, dan Ibrohiim berpendapat dianjurkannya membaca ta’awudz pada setiap
rakaat, mereka berdalil dengan Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa : { Apabila
kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah } (QS.
An Nahl : 98). Tidak ragu lagi bahwa ayat ini menunjukkan disyariatkannya
Isti’aadzah sebelum membaca Al Qur’an dan ini umum mencakup diluar dan didalam
sholat. Lalu datang hadits-hadits larangan untuk berbicara didalam sholat yang
menunjukkan larangan pada waktu sholat tanpa ada perbedaan antara isti’aadzah
dan lainnya yang tidak datang dalil khusus (yang disyariatkan dibaca didalam sholat-pent.)
dan tidak terdapat izin (dari pembuat syari’at-pent.) untuk membolehkan dibaca
didalam sholat.
Maka yang
lebih hati-hati adalah mencukupkan untuk melakukan apa yang terdapat dalam
as-Sunnah yaitu isti’aadzah sebelum membaca Al Qur’an pada rokaat pertama saja.
Pendapat
yang mencukupkan diri untuk membaca ta’awudz hanya pada rokaat pertama dianut
juga oleh banyak ulama kontemporer, diantaranya : lajnah Daimah yang diketuai
oleh Imam bin Baz, Imam Ibnu Utsaimin, asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-Munajid,
asy-Syaikh DR. Abdullah al-Faqiih dan selainnya.
Pendapat
yang kedua mengatakan bahwa ta’awudz pada setiap rokaat disyariatkan. Ini
adalah pendapatnya Imam ibnu Hajiib dari Malikiyyah, pendapat yang rojih
dikalangan syafi’iyyah, satu riwayat dari Imam Ahmad, ucapan Imam ‘Athoo’, Imam
al-Hasan, Imam Ibrohim an-Nakho’iy, pilihannya Imam Ibnu Hazm dan pilihannya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga, beliau dalam al-Ikhtiyaaroot berkata
:
ويستحبّ التعوُّذ أوَّل كلّ قراءة
Disunnahkan
ta’awudz pada awal setiap membaca Al Qur’an (dalam sholat-pent.).
Demikian
nukilan dari Syaikh Khoolid dalam sumber yang kami sebutkan sebelumnya. Dalil
mereka telah disinggung oleh Imam Syaukani sebelumnya, yakni keumuman perintah
yang terkandung dalam surat An Nahl ayat 98, dimana Allah Subhaanahu wa
Ta’aalaa memerintahkan untuk membaca ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an.
Adapun
dalil-dalil yang disampaikan oleh madzhab pertama adalah sebagai berikut :
a.
Persaksian
dari Abu Huroiroh rodhiyallahu anhu bahwa Rasulullah tidak diam terlebih dahulu
ketika selesai bangkit pada rokaat kedua dan langsung membaca Alhamdulillah sebagaimana
hadits diatas, maka hal ini tidak menunjukkan bahwa ta’awudz begitu juga
Basmallah tidak dibaca ketika itu. Memang benar bahwa hadits tersebut menunjukkan
bahwa doa iftitaah tidak diulangi lagi pada rokaat berikutnya, namun hal ini
tidak menafikan untuk membaca ta’awudz dan basmallah ketika itu. Imam Al Albani
dalam Ashlu Sifat Sholat Nabi sholallahu alaihi wa salam (3/826) menukil
dari al-‘Alamah Muhammad Hamid al-Faqqi komentar beliau tentang tidak diam
tersebut katanya :
أما سكتة التعوذ والبسملة؛ فلطيفة جداً لا يحس بها المأموم؛ لاشتغاله بحركة
النهوض للركعة
Adapun
diamnya (Imam) untuk membaca ta’ awudz dan basmallah ketika itu, maka ini
adalah waktu yang sebentar dan makmum tdak terasa, karena mereka sedang sibuk
bangkit menuju rokaat kedua.
Maksud
Syiakh Hamid al-Faqqi adalah bahwa Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu sebagai
makmum tidak merasa bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam yang bertindak
sebagai Imam sholat diam, namun langsung membaca Alhamdulillah. Padahal
bisa saja Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam membaca Ta’awudz dan Basmallah,
sedangkan pada waktu itu Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu tidak perhatian karena
tentunya seorang makmum ketika itu sedang sibuk bangkit menuju rokaat
berikutnya, sedangkan sang Imam mendahului makmum dan sempat saja membaca
ta’awudz dan basmallah, karena tidak memerlukan diam yang lama -Wallahu A’lam-
dan sekaligus juga ini sebagai dalil bahwa ta’awudz dan basmallah dibaca secara
sirriyyah.
b.
Adapun
bacaan sholat dianggap satu paket atau satu kesatuan, maka tidak bisa
dimutlakkan seperti itu, buktinya bahwa seorang yang sengaja tidak membaca Al
Fatihah pada rokaat kedua dan seterusnya, padahal sebenarnya ia sempat membaca
Al Fatihah, maka sholatnya batal, karena Al Fatihah adalah rukun dalam sholat
yang harus dibaca dalam setiap rokaat. Seandainya itu satu paket, maka tentu
orang yang tidak membaca Al Fatihah pada rokaat-rokaat berikutnya, maka tidak
batal sholatnya, karena mencukupi bacaan Al fatihah yang pada rokaat pertama.
Imam Al Albani dalam Sifat Sholat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa
salaam telah membuat sebuah pasal pembahasan tentang wajibnya membaca
Al Fathah pada setiap rokaat, lalu beliau berdalil dengan hadits orang yang
salah sholatnya dimana disitu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam
mengajarkan kepada orang tersebut mulai dari takbir sampai sujud kedua,
kemudian pada akhir hadits Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda kepadanya
:
ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Kemudian
lakukan hal tersebut dalam seluruh (rokaat) sholatmu (Muttafaqun ‘alaih).
Oleh
karena itu bacaan Al Fatihah merupakan bacaan yang berdiri sendiri dalam
hukumnya pada setiap rokaatnya, sehingga ayat 98 An Nahl masuk ke dalam keumuman
untuk membaca ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an.
c.
Tidak
dinukilnya hal tersebut dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam, padahal
seharusnya kalau membaca ta’awudz merupakan sunnah sholat, tentu akan banyak
dinukil dari Beliau Sholallahu ‘alaihi wa salaam, karena tentunya ini sering
dikerjakan Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam. Maka kami katakan bahwa telah
dinukil dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam, Beliau membaca ta’awudz sebelum
membaca Al Fatihah pada rokaat pertama dan rokaat-rokaat berikutnya merupakan
pengulangan dari rokaat pertama, kecuali ada hal lain maka Beliau Sholallahu
‘alaihi wa salaam akan menjelaskan, misalnya pada rokaat kedua dalam sholat
yang terdiri dari 3 atau empat rokaat bahwa disana ada tambahan duduk tasyahud,
maka Beliau Sholallahu ‘alaihi wa salaam menerangkan kepada umatnya begitu juga
misalnya adanya salam pada rokaat terakhir dan seterusnya. Tentunya kalau
dilazimkan bahwa untuk setiap rokaat harus ada dalilnya, maka kami boleh
menanyakan apakah ada dalil yang langsung secara leterleck misalnya bahwa pada
waktu ruku’ di rokaat kedua harus membaca dzikir-dzikir ruku sebagaimana yang
dikenal? Apakah ada juga dalil bahwa pada waktu sujud kedua pada rokaat kedua
harus membaca dzikir-dzikir sujud dan seterusnya. Justru dengan tidak adanya
penukilan tersebut menunjukkan bahwa sebelum membaca Al Fatihah disyariatkan
membaca ta’awudz seperti pada rokaat pertama.
Jika ada
yang mengatakan seharusnya juga dibaca doa iftitah seperti rokaat pertama? Maka
hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu yang disebutkan pada point pertama
sebagai dalil madzhab yang pertama, menunjukkan tidak dibacanya doa iftitah.
Imam Al Albani dalam al-Ashlu (3/825) :
فالحديث نص في نفي مشروعية دعاء الاستفتاح، ولكنه لا ينفي مشروعية الاستعاذة.
Maka
hadits ini (hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu diatas, -pent.) nash
penafian disyariatkannya doa istiftaah (pada semua rokaat), namun hal ini tidak
menafikan disyariatkannya isti’aadzah.
d.
Pendapat
Imam Syaukani bahwa keumuman perintah membaca ta’awudz sebelum membaca Al
Qur’an dalam ayat 98 surat An Nahl, dibatasi oleh hadits larangan untuk
memasukan ucapan yang bukan sebagai hal yang disyariatkan dalam sholat, maka
ada beberapa hal yang bisa didiskusikan :
· Bacaan ta’awudz adalah bacaan yang sah sebagai bacaan
sholat sebelum membaca Al Fatihah, sebagaimana dalil yang telah disebutkan
diatas, sehingga orang yang membaca ta’awudz bukan menambahkan ucapan yang
asalnya tidak sah didalam sholat, seperti misalnya membaca yarhamukallah bacaan
bagi orang yang mendengar saudaranya membaca Hamdalah ketika
bersin, sebagaimana asbabul wurud dari hadits larangan pembicaraan diluar
sholat yang dimasukkan kedalam sholat, yang diisyaratkan oleh Imam Syaukani.
· Kemudian Imam Syaukani menyebut tidak adanya izin
untuk membaca ta’awudz didalam sholat pada setiap rokaatnya, maka disini kami
ingin menyampaikan sebuah hadits yang merupakan dalil lain yang menguatkan
madzhab kedua bahwa keumuman ayat perintah ta’awudz bisa diterapkan dalam
sholat. Haditsnya adalah berasal dari riwayat Ustman bin Abil ‘Aash
Rodhiyallahu ‘anhu bahwa :
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي
وَبَيْنَ صَلَاتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ،
فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ، وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ
ثَلَاثًا» قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي
Beliau
mendatangi Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam lalu bertanya : “wahai
Rasulullah, sesungguhnya syaithon mengganggu sholat dan bacaanku, sehingga aku
dibuat samar olehnya”. Maka Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda : “itu
syaithoon yang bernama khonzab, jika ia membuat was-was kepadamu, maka mohonlah
perlindungan kepada Allah darinya, lalu meludahlah 3 kali kesamping kirimu”.
Ustman Rodhiyallahu ‘anhu berkata : “lalu aku melaksanakan tips Nabi
Sholallahu ‘alaihi wa salaam tersebut, maka Allah menghilangkan gangguannya
kepadaku” (HR. Muslim).
Dari
hadits ini dapat diambil faedah bahwa kapan pun seorang mendapatkan gangguan
dari syaithoon ketika sholat, maka hendaknya ia berta’awudz lalu meludah kekiri
sebanyak 3 kali. Bisa saja ketika ruku’ diganggu maka berta’awudz ketika itu,
atau pada saat sujud di rakaat berapapun asalkan merasa terganggu, maka
lakukanlah perintah Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam tersebut.
Maka
hampir serupa dengan ini adalah izin dari Allah Subhanahu wa Ta’alaa dalam
ayat-Nya yang mulia bagi setiap Muslim untuk membaca ta’awudz sebelum membaca
Al Qur’an dan termasuk didalamnya ketika sedang sholat. Wallahu A’lam.
Kesimpulannya,
disyariatkan untuk membaca ta’awudz pada setiap rokaat sebelum membaca Al
Fatihah dan surat lainnya.
Kesimpulan
dari keseluruhan pendapat di atas agar tidak terjadi perselisihan, Imam bin Baz
berfatwa agar saling menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ini, berikut
perkataan beliau :
أما التسمية فالسنة في كل الركعات، إذا
كنت تقرأ سورة مستقلة تسمي قبلها، أما الاستعاذة فسنة في الركعة الأولى، أما
الركعات الأخرى فاختلف فيها العلماء هل تشرع الاستعاذة أم لا؟
فمن استعاذ فلا بأس ومن ترك فلا بأس في
الركعات الأخرى، لكن تشرع الاستعاذة في الركعة الأولى بتأكيد وهكذا التسمية، أما
في الركعات الأخرى فيسن..
رجل أو امرأة، يسن إذا افتتح سورة، أما إذا كان
يقرأ بعض آيات فلا حاجة إلى التسمية تكفي التسمية الأولى عند قراءته الفاتحة.
Adapun
tasmiyyah pada setiap rokaat jika engkau membaca surat tersendiri maka
bertasmiyyah sebelumnya. Adapun isti’aadzah maka sunnah di rokaat pertama,
adapun rokaat-rokaat yang lain, maka terjadi perselisihan ulama apakah
disyariatkan isti’aadzah pada setiap rokaat atau tidak?
Barangiapa
berta’awudz maka tidak mengapa, barangsiapa yang tidak berta’awudz juga tidak
mengapa, namun disyariatkan isti’aadzah pada rokaat pertama dengan
perintah yang kuat, demikian juga tasmiyyah, adapun pada rokaat berikutnya,
maka disunahkan…
Seorang laki-laki dan wanita disunnahkan jika membaca
surat (membaca ta’awudz dan Basmalah), adapun jika ia membaca sebagian ayat,
maka tidak perlu tasmiyyah lagi, cukup tasmiyyah yang pertama ketika membaca Al
Fatihah.
4. Perlu diketahui kewajiban mutlak membaca surat
al-Fatihah imam maupun makmum, baik shalat jahriyah maupun sirriyah adalah Imam
Syafi’i dan Imam Hambali bukan Imam Malik. Alasan dimutlakkan kewajiban membaca
surat al-Fatihah imam maupun makmum, baik shalat jahriyah maupun sirriyah
adalah sama yaitu dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ.
“tidak (sah) shalat kecuali
dengan membaca alfatihah.” (Muttafaq ‘alaih)
seperti perkataannya :
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ تَتَعَيَّنُ حَتَّى لَوْ تَرَكَ
حَرْفًا مِنْهَا فِي رَكْعَةٍ لَا تَجُوزُ صَلَاتُهُ، وَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِ
النَّبِيِّ لَا صَلَاةَ إلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَبِمُوَاظَبَةِ النَّبِيِّ
عَلَى قِرَاءَتِهَا فِي كُلِّ رَكْعَةٍ.
Imam syafi’i berkata: “walaupun
orang yang meninggalkan bacaan al-fatihahnya itu hanya satu huruf dalam satu
rakaat, maka shalatnya tetap tidak sah.”
Kemudian dalil
yang mendukung hal tersebut juga hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ صَلَّى صَ ةَالً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا
بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ-ثَ ثَالًا-غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ بِألَِي
هُرَيْرَة:َ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ ؟ فَقَالَ: اقْرَأْ بِهَا فِي
نَفْسِكَ
“Barang siapa melaksanakan
shalat tanpa membaca ummul Qur’an, shalatnya batal—tiga kali—, tidak sempurna.”
Lantas
dikatakan kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya kami biasa shalat di belakang imam (apa yang kami
lakukan)?”
Kata Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Bacalah ummul Qur’an pada dirimu sendiri (secara berbisik).”(HR. Muslim)
Adapun dalil bahwa hal itu wajib sebagai
rukun pada setiap rakaat shalat adalah sebagai berikut :
a. Amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang secara kontinu membaca al-Fatihah
pada seluruh rakaat shalatnya tanpa pernah meninggalkannya sama sekali, bersama
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.
“Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari dari
Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu)
b. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di
atas tentang lelaki yang tidak tahu shalat yang benar lantas Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam mengajarinya tata cara shalat yang benar termasuk membaca
surat (al-Fatihah) dan bersabda kepadanya,
ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا.
“Kemudian kerjakanlah hal itu
semuanya pada seluruh rakaat shalatmu.” (Muttafaq ‘alaih)
0 Komentar untuk "PERTANYAAN SEPUTAR FIQH"